Malam Pertama yang Tidak Terlalu



Image result for Malam Pertama yang Tidak Terlalu
ERAQQ.COM-Aku akan menceritakan apa yang terjadi pada sebuah ‘ruang’ dalam hidupku. Tetapi sebelumnya, aku akan memberitahumu bahwa ada sebuah lorong yang bentuknya memutar, berisi banyak pintu, yang ketika kaususuri, lorong tersebut akan membawamu kembali pada titik semula. Itulah hidup dari kacamataku. Melewati pintu demi pintu, demi pintu lagi, demi pintu lagi, demi pintu lagi, lalu kembali pada pintu pertama. Seperti kelahiran merupakan pintu menuju masa anak-anak, maka masa anak-anak akan membawamu pada ‘ruang’ dewasa, dan kedewasaan menjadi pintu bagi janji pernikahan. Dan dari kacamataku, janji pernikahan merupakan pintu menuju malam pertama. Demikian seterusnya sampai kau kembali pada ‘ruang’ kelahiran. Yang hendak aku ceritakan, terjadi di ‘ruang’ malam pertama.
Tentu kau setuju, bahwa yang paling menggeramkan bagi laki-laki yang sedang bergairah adalah menerima penolakan. Dari istri sendiri. Di malam pertama.
“Sedang tidak ingin,” katanya.
Oh, begitu burukkah aku sehingga tak mampu menggerakkan hasratnya. Bahkan di hari ini, pada saat aku mengaguminya karena ia tampil bak ratu. Telah aku hadiahkan ia dengan sentuhan dan cumbuan. Ia mengelak dan tergelak. Lalu mengulangi kata-katanya bahwa ia sedang tidak ingin.
Ia tergelak. Aku semakin gamang. Bila ia hadiahkan padaku sentuhan dan cumbuan yang aku hadiahkan padanya, maka aku akan menjadi ulat yang memakan habis daun-daun. Apa ia tak bahagia hari ini? Karena katanya, perempuan perlu merasa bahagia untuk mau melakukan itu, sementara laki-laki hanya butuh … entahlah. Rasanya hasrat laki-laki tak tergantung pada apapun kecuali hasrat itu sendiri. Muncul tiba-tiba, hilang kalau terpaksa.
“Aku ada bikin salah?”
Hal pertama yang aku lakukan ketika tak mendapatkan apa yang aku inginkan adalah menyalahkan diri sendiri. Selain karena memang melakukan kesalahan, aku curiga tubuhku yang tidak gagah dan perutku yang tidak kencang seperti atlet sepakbola idolanya, turut andil dalam sedang-tidak-ingin yang ia lontarkan hingga dua kali. Tapi ia telah lama tahu bahwa aku tidak gagah, dan tak pernah menjadikannya masalah. Atau apakah ia tidak mencintaiku? Karena aku dengar juga, bahwa perempuan butuh rasa cinta untuk mau melakukan itu. Sementara laki-laki butuh … entahlah. Barangkali hasrat laki-laki tak ada kaitannya dengan cinta.
“Tidak, Sayang. Kamu jangan khawatir.”
Ia menuju sudut kamar dan menduduki kursi kayu di hadapan cermin besar. Satu persatu dilepaskannya segala yang melekat di rambut, leher, tubuh, hingga kakinya. Aku memandanginya sambil tetap bersandar pada pintu. Pikiranku sudah bergerak ke segala kemungkinan begitu ia menghadap ke arahku lalu berdiri. Telanjang sempurna.
Aku mendesah. Desahan yang sangat berat.
“Kamu bilang sedang tidak ingin, tetapi sengaja menggodaku seperti itu. Kalau aku tidak melakukan kesalahan apa-apa seperti yang kamu bilang, pasti ada alasan lain mengapa kamu menolakku.”
“Memangnya kamu punya alasan mengajakku melakukan itu?”
“Punya.”
“Apa?”
“Sedang ingin.”
“Aku juga punya alasan menolakmu.”
“Apa?”
“Sedang tidak ingin.”
“Keinginan bisa dibangunkan.”
Ia berjalan ke arahku dengan langkah putri keraton, aku mendekatinya dengan sedikit lebih tergesa.
“Hasrat itu datangnya dari dalam sini.”
Ia menunjuk dadaku. Aku memegang tangannya dan menuntun tangan yang disaput kulit putih mulus itu ke bawah perutku.
“Hasrat itu datangnya dari sini.”
“Itulah bedanya perempuan dengan laki-laki.”
Ia mengikik dan menarik tangannya dariku. Lalu sambil berjalan kearah kamar mandi yang ada di dalam kamar ini, ia berkata, “Sudahlah, Sayang. Toh kita sudah sering melakukannya. Anggap saja malam ini seperti malam-malam lain ketika aku sedang tidak ingin.”
Aku berusaha mencari-cari dalam kata-katanya, dalam nada suaranya, dalam bahasa tubuhnya, sesuatu yang mengarah pada kekesalan, kelelahan, keangkuhan. Tapi tak ada. Entahlah. Apakah laki-laki lain bertindak sepertiku, menerima saja ketika mengalami penolakan? Karena pemaksaan bersetubuh, bagiku, sama saja dengan perampokan. Kau mengambil sesuatu secara paksa, dan hal-hal yang kau dapatkan dengan cara seperti itu, tak akan membuatmu bahagia. Tetapi ini malam pertama kami.
Suara air mengalir yang terdengar dari kamar mandi membuatku membayangkan ketika nanti ia keluar dari sana. Aroma sabun favoritnya akan menyentuh hidungku.
“Tapi kalau mandi bersama, aku masih mau.”
Aku tidak salah dengar. Aku menyeringai karena membayangkan bahwa mandi bersama bisa jadi pintu menuju ‘ruang’ lainnya. Barangkali kami akan melakukannya sambil berdiri, sesuatu yang belum pernah kami lakukan sebelumnya. Bergegas, aku menghambur ke dalam kamar mandi tetapi khayalanku tinggal khayalan.
Tidak terjadi apa-apa selain menyegarkan badan setelah lelah dan berkeringat seharian tadi. Tersenyum pada semua tamu, mengayunkan kipas pada suatu masa karena udara mendadak terasa pengap, berdiri selama lebih dari tiga jam, berjalan menghampiri sebanyak mungkin orang. Tidak terjadi apa-apa selain istriku mengusapkan sabun ke seluruh bagian tubuhku yang telanjang. Seluruh tubuhku termasuk bagian yang itu. Yang bereaksi ketika disentuh oleh jemari lentik itu, dan membuatku mendadak bersemu merah karena istriku tersenyum maklum. Tidak terjadi apa-apa kemudian karena semuanya berhenti di sana.
Kami segera mengeringkan badan. Lalu lekas menuju tempat tidur.
“Aku sedang tidak ingin, Sayang,” katanya sambil menggeliat lalu berbalik memunggungiku.
Aku memperhatikan punggungnya yang lapang. Istriku memang lebih suka tidur tanpa memakai apa-apa. Punggung istriku begitu mulus. Perempuan lain yang berusia dua puluhan, aku yakin, akan cemburu ketika melihat punggung mulus dengan kulit kencang istriku yang telah berusia 32 tahun. Kami belum memiliki anak tentu saja dan aku tidak tahu apakah hamil dan melahirkan akan mengurangi keindahan punggung dan kulit itu. Tetapi rasanya tak rela juga jika itu benar akan terjadi.
Menelusuri punggungnya dengan jemariku, membuatku tenang. Aku mencium bahunya yang terbuka. Ia menggeliat sambil menggeram.
“Jangan menggoda,” ulangnya.
Aku melepaskan jemari dari punggungnya dan menatap langit-langit. Sekali lagi mengingat-ingat apa yang paling ia suka dariku, barangkali aku bisa memanfaatkan hal itu untuk mengembalikan suasana hatinya. Di malam pertama kami.
Aku menengok ke kanan dan dengkuran halus telah terdengar. Aku meraba punggungnya sekali lagi dan ia seperti tersentak, tetapi kembali tenang. Ada keraguan yang cukup mengangguku. Melupakan hasratku atau memaksanya, untuk pertama kalinya. Entahlah. Terkadang, hasrat tertentu menguasai manusia, dan tindakannya didorong oleh kebutuhan untuk pemuasan hasrat tersebut. Berbahagialah orang-orang yang mampu mengendalikan dirinya, dan belajarlah orang-orang yang belum mampu. Termasuk aku.
‘Ruang’ berumah tangga ternyata mengharuskan aku menjadi bijaksana. Terutama karena pernikahan ini adalah keputusan yang aku pilih sendiri, ada konsekuensi-konsekuensi yang harus aku hadapi. Kekasihku yang dulu pernah mengingatkanku akan sesuatu.
“Kamu boleh mencariku ketika istrimu menolak diajak melakukannya.”
Ingatan-ingatan aneh memang terkadang datang di saat yang tidak tepat. Kombinasi yang tidak sehat. Seperti bayangan hantu dengan rupa seram tiba-tiba muncul di kepala ketika kita sedang sendirian, meski itu bukan tempat yang menakutkan.
“Mana mungkin seorang istri tidak mau diajak melakukan itu,” kataku meragukan pendapatnya.
“Nanti kamu akan tahu sendiri.”
“Kamu mengancamku dengan halus.”
“Perempuan memang jagonya berbuat seperti itu.”
“Mengancam dengan halus?”
“Bukan. Menggoda laki-laki dengan menolak ajakan melakukan itu agar sang suami menginginkan sang istri dengan lebih lagi.”
“Jinak-jinak merpati.”
“Tak masalah kalau ingin menyebut kami dengan istilah itu.”
Sedang apa kekasihku itu di malam pertamaku? Khayalanku berlari dari punggung istriku ke bahu kekasihku. Pertemuan terakhir kami terjadi di apartemennya. Tamunya sebelum aku, keluar terlalu cepat sehingga aku punya waktu lebih banyak dari seharusnya.
“Kamu selalu bisa diandalkan,” katanya ketika aku tiba.
“Kamu tidak membayarku?”
“Jangan harap. Kita melakukannya suka sama suka.”
Kami tertawa lalu melakukannya berkali-kali, tanpa menunggu aba-aba.
“Itu artinya kamu setuju jika aku sebut kamu jinak-jinak merpati.”
“Kalau itu membuatmu akan kembali lagi suatu hari.”
“Aku tak bisa janji. Pernikahan melibatkan rantai. Bukan berarti aku menikah karena terpaksa, tapi … entahlah. Kamu tahu maksudku. Aku akan punya rumah yang menjadi tujuanku pulang.”
“Bukannya ini rumah juga?”
“Tidak lagi. Cinta, bisa jadi bukanlah alasan utama sebuah pernikahan. Tetapi komitmen, pasti. Dan aku laki-laki yang tunduk pada komitmen.”
“Dulu kamu berkomitmen bahwa aku bisa memanggilmu kapan saja.”
“Tetapi komitmen yang ini luar biasa. Luas, kuat, jangka waktunya lebih lama. Mungkin selamanya.”
“Kamu penipu. Tapi itu tidak mengurangi komitmenku untuk senantiasa siap kapanpun akhirnya kamu menghubungiku.”
Aku tak sanggup berkata-kata ketika itu. Kekasihku itu seperti bisa meramalkan keadaan seperti ini dan saat ini rasanya aku ingin kabur sebentar lalu kembali sebelum matahari terbit. Perempuan yang sekarang jadi istriku ini, tak pernah bangun sebelum pukul tujuh pagi. Setidaknya itulah yang aku lihat ketika beberapa kali ia menginap di apartemenku.
Hasrat ini menyapaku lagi karena desir angin yang datangnya entah dari mana, seperti bisik-bisik yang menyemangatiku untuk beranjak. Aku bukan bermaksud menemui kekasihku yang dulu. Yang lebih aku perlukan sekarang adalah udara segar atau udara dingin yang rasanya mampu membekukan hasrat ini barang sejenak. Atau berjalan kaki yang barangkali bisa meregangkan kekakuan otot-otot tertentu di tubuhku. Dan apabila aku berakhir di apartemen kekasihku itu, maka kau harus ingat, bahwa hal itu tak pernah menjadi tujuanku utamaku keluar di malam pertamaku ini. Dadaku hanya sedang sesak oleh ikatan-ikatan. Untuk sejenak, ikatan itu perlu aku lepaskan.

Komentar